Rabu, 08 Mei 2013

IZUL

 
              Membaca buku karangan yoyok dwi prastyo (2012) yang berjudul “guru monyet”, saya tersinggung,  saya menjadi benar-benar tersinggung ketika apa yang dialami yoyok tersebut terjadi kepada saya.
          Kelas 5B terletak dilantai bawah, kelas ini tampak mulai kelihatan rapi sejak mereka mencanangkan ingin menjadi pemenang lomba kelas terbersih di sekolah. Berbagai pernak-pernik, tulisan motivasi, bangku yang rapi dll mulai menjadi pembeda dibanding hari-hari sebelumnya. Ketika hendak masuk kelas sepatu harus dilepas tak terkecuali guru. Ketika hendak memasuki kelas saya sangat tersinggung  melihat siswa-siswi semuanya menghina salah seorang temannya, namanya Izul, yang kebetulan dianugerahi kulit yang tidak putih, dan kecepatan dalam hal apapun kurang, termasuk menyerap pelajaran. Tapi dalam hati, “kenapa sih mereka harus menghina izul seperti itu?”.
          Padahal mereka sebagai generasi penerus, yang bersekolah di sekolah dasar Islam, tentunya harus paham benar bagaimana Islam mengajarkan supaya menghargai temannya sendiri, bentuk tubuh, warna kulit, kemampuan berfikir, itu semua hak  Pembuatnya, Allah sudah tau betul bagaimana membuatnya dan sesuai dengan yang dibutuhkan oleh Izul, siapa juga yang mau dihina setiap hari, dia juga punya hak untuk bebas dari tekanan batin hinaan yang mematikan karakter temannya sendiri hanya karena tidak seperti kebanyakan siswa lainnya. Izul memiliki kelebihan yang temannya tidak mengetahui, namun yang lebih tampak sehari-hari adalah kekurangan izul yang diulang-ulang dihina dan menjadikan Izul pendiam dan meratapi keadaannya.
          Melihat hal itu, saya sebagai guru tidak mau tinggal diam, saya tidak rela penghancuran karakter Izul berlangsung terus menerus setiap hari, ketersinggunganku tidak akan saya biarkan menjadi amarah bahkan emosi yang tak terkendali untuk menghardik siswa-siswa yang mengambil hak Izul untuk bebas dari tekanan mental. Yang saya lakukan bukanlah membentak-bentak dan menggebrak meja, melainkan dengan perumpamaan.
Seperti yang dilakukan oleh yoyok dwi prastyo (2012), menghadapi situasi yang sama dengan beliau saya mencoba “mantra” yoyok untuk saya terapkan pada muridku. Saya mengambil uang dua ribu dari kantong saya dan juga meminjam uang salah seorang siswa yang nominalnya lebih tinggi dari dua ribu, kebetulan Deva ketua kelas 5B, memiliki uang lima ribu. Uang kami tampak lumayan baru, meskipun terdapat sedikit tekukan pada ujung uang tersebut.
Selanjutnya tanpa menunggu waktu lama, uang lima ribu tersebut langsung saya remas-remas hingga lungset dan tak berbentuk bagus lagi serta tak indah dipandang seperti semula. Kemudian saya melontarkan pertanyaan pada seluruh siswa yang mulai tampak tidak terima dengan apa yang saya lakukan, jika mereka sedang berjalan ditengah jalan menemukan uang dua ribu yang masih bagus dan uang lima ribu yang telah terlipat-lipat dan rusak tak berbentuk, maka bila disuruh memilih salah satu, uang mana yang akan mereka pilih. Jawaban serempak seperti paduan suara mereka lontarkan dan sangat kompak memilih uang lima ribuan tersebut, mendengar antusias mereka menjawab kemudian saya lanjutkan pertanyaan mengapa  harus memilih uang lima ribu, padahal bila dipikir-pikir dan diamati, tentu uang dua ribu yang tampak bagus dan rapi lebih indah dipandang dan pantas masuk dompet, dari pada uang lima ribuan yang layu dan kusut tak berbentuk tentu tidak sedap dipandang.
Ternyata mereka menjawab memilih uang lima ribu dari pada dua ribu bukan karena bentuknya yang kusut dan jelek, tetapi karena nilai uang lima ribu lebih tinggi dibanding dua ribu. Kemudian saya sanggah dengan mengatakan harusnya mereka seperti itu, menilai Izul tidak pada bentuk fisik yang diciptakan Allah, dimata Allah orang yang bernilai dan memiliki derajat bukan dinilai dari ketampanannya, kecantikannya, hartanya, melainkan karena iman, kemuliaan hatinya. Tampaknya perumpamaan yang saya berikan sama berhasilnya dengan yang dilakukan Yoyok, tentu reaksi seluruh siswa ada yang menyesal telah menghina, ada yang terdiam seribu bahasa, dan ada pula yang langsung menuju Izul untuk meminta maaf. Melihat hal itu, saya tampak bahagia dan bangga kepada siswa-siswi kelas 5B tersebut, hati mereka mudah dimasuki cahaya hidayah dari Allah melalui apa yang saya contohkan, sehingga harapannya mereka menjadi rukun dan mampu berfastabiqul qoirot menjadi yang terbaik di sekolah tanpa harus menghancurkan karakter dan mental temannya sendiri.
Pesanku kepada Izul adalah “jadilah dirimu sendiri, saya tahu ada potensi yang terpendam dalam dirimu, ledakkan potensimu untuk membelalakkan dunia bahwa kamu bisa”. Izul mulai bersemangat kembali untuk menggerak-gerakan pensil yang digenggamnya dan melemparkan senyum kepuasan tanda dia siap untuk meledakkan potensinya.
 
Hasan Albana,
29 April 2013 pukul 16:30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar