Abu Nawas
kehilangan cincin, ia tampak bingung mencari-cari, dahinya berkerut keringat
bercucuran, mondar-mandir ia diteras hingga pekarangan belakang rumah,
batu-batu yang kecil maupun besar yang dicurigai tempat kemungkinan terselipnya
cincin diangkat dan dibalik satu-persatu, hingga 2 jam lamanya tak kunjung
ketemu hingga para tetangga yang melihat merasa iba dan kasihan kepada Abu
Nawas, mereka semua berbondong-bondong membantu Abu Nawas menemukan cincinnya
yang hilang, atas dasar kawan dekat dan tetangga mereka rela meluangkan waktu
untuk membantu mencarikan tanpa tahu dimana cincin tersebut berada, hing
ga
akhirnya setelah lelah dan tak berdaya puas dengan pencarian yang tak kunjung
mem buahkan hasil, salah seorang dari mereka mencoba menahan Abu Nawas yang
sedikit emosi karena belum juga ketemu cincinnya.
“Abu Nawas, hingga 3 jam kita
mencari cincinmu tapi tak ada hasil apapun yang kita temui diluar sini,
sebenarnya hilangnya cincinmu dimana?” ‘tanya teman Abu Nawas”. Abu Nawas
dengan reflek menjawab bahwa cincinnya itu hilang didalam rumah. Para tetangga
yang membantu menacarikan cincin tersebut semuanya menggerutu dan sewot serta menendang barang-barang yang
ada diluar rumah Abu Nawas seraya nyeletuk “hilangnya didalam rumah, ngapain dari
tadi nyarinya diluar rumah”.
Fenomena Abu Nawas merata dan
tumbuh subur layaknya jamur tiram di musim hujan, telah terjadi di pemerintahan,
perusahaan, sekolah, dan disekitar kita. Bukannya Abu Nawas berbohong,
melainkan tidak terdidik untuk mencari sumber masalah dari dalam terlebih
dahulu, yakni dari diri sendiri sehingga Abu Nawas sering mengalami sakit
perut, sariawan, dan ngantuk, dimana ciri-ciri tersebut adalah ciri orang yang
stres.
Abu Nawas jaman sekarang justru
lebih rileks dan menikmati kesetresannya
dengan memberikan obat-obatan anti stres. Mereka sibuk mencari diluar meskipun
sampai stres dan terus menerus memberikan obat anti stres dan akhirnya tak
kunjung ketemu apa yang dicari sampai obat stresnya habis. Mereka pernah
bersekolah dari madrasah hingga kuliah tinggi sekali dan pernah guru atau
ustadznya mengatakan “ibda’ bi nafsi” yang artinya mulailah dari dirimu sendiri.
Mereka sangat paham betul arti
kata dari ibda’ bi nafsi tersebut namun mengaplikasikannya tidak tepat, mereka
memulai dari diri mereka sendiri yakni menstreskan diri sendiri dengan cara
mencari diluar terlebih dahulu dan tak kunjung mencari di dalam.
Untuk mencari kesalahan orang
lain sangatlah mudah, namun apa daya kita seringkali kesulitan untuk mencari
kesalahan diri sendiri dengan muhasabah. Emha ainun najib dalam hal mencari
masalah mencontohkan pada sebuah penyakit flu, hidung nggebros-nggebros, meler, tersumbat, hingga memerah karena sering
dipencet adalah ciri orang terkena flu, namun pada hakikatnya flu tidak
berpusat pada hidung semata, hidung hanyalah tanda dan sinyal bahwa sedang
terkena flu, sesungguhnya yang merasakan flu adalah sekujur tubuh namun kita
sering terfokus hanya pada hidung semata. Bila kita ngeyel mencari obat hidung dan memencet-mencet hidung hingga
kotoran hidung maupun airnya keluar terus menerus flu tidak akan berhenti
dengan sendirinya. Karena yang perlu diobati adalah bukan hidung melainkan
sekujur tubuhnya.
Mencari kesalahan diri sendiri
kadang hanya berfokus pada hidung, padahal sekujur tubuh baik itu berupa
perkataan, perbuatan, maaupun tingkah laku yang dilakukan oleh tubuh sering
melakukan kesalahan sehingga menyalahkan hidung yang terlalu over dalam menanggapi datangnya flu.
Mencoba untuk berkaca dan
memperbaiki diri adalah cara yang ampuh untuk menyelesaikan sebuah masalah,
apapun masalahnya diupayakan yang dicari jawabannya terlebih dahulu adalah dari
diri sendiri. Sehingga kita tidak berfokus pada reaksi satu pihak dan justru
mencari diluar konteks permasalahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar