IZUL
saya menjadi benar-benar
tersinggung ketika apa yang dialami yoyok tersebut terjadi kepada saya.
Membaca buku
karangan yoyok dwi prastyo (2012) yang berjudul “guru monyet”, saya
tersinggung,
Kelas 5B terletak dilantai
bawah, kelas ini tampak mulai kelihatan rapi sejak mereka mencanangkan ingin
menjadi pemenang lomba kelas terbersih di sekolah. Berbagai pernak-pernik,
tulisan motivasi, bangku yang rapi dll mulai menjadi pembeda dibanding hari-hari
sebelumnya. Ketika hendak masuk kelas sepatu harus dilepas tak terkecuali guru.
Ketika hendak memasuki kelas saya sangat tersinggung melihat siswa-siswi semuanya menghina salah
seorang temannya, namanya Izul, yang kebetulan dianugerahi kulit yang tidak
putih, dan kecepatan dalam hal apapun kurang, termasuk menyerap pelajaran. Tapi
dalam hati, “kenapa sih mereka harus menghina izul seperti itu?”.
Padahal mereka sebagai generasi
penerus, yang bersekolah di sekolah dasar Islam, tentunya harus paham benar
bagaimana Islam mengajarkan supaya menghargai temannya sendiri, bentuk tubuh,
warna kulit, kemampuan berfikir, itu semua hak
Pembuatnya, Allah sudah tau betul bagaimana membuatnya dan sesuai dengan
yang dibutuhkan oleh Izul, siapa juga yang mau dihina setiap hari, dia juga
punya hak untuk bebas dari tekanan batin hinaan yang mematikan karakter
temannya sendiri hanya karena tidak seperti kebanyakan siswa lainnya. Izul
memiliki kelebihan yang temannya tidak mengetahui, namun yang lebih tampak
sehari-hari adalah kekurangan izul yang diulang-ulang dihina dan menjadikan
Izul pendiam dan meratapi keadaannya.
Melihat hal itu, saya sebagai
guru tidak mau tinggal diam, saya tidak rela penghancuran karakter Izul
berlangsung terus menerus setiap hari, ketersinggunganku tidak akan saya
biarkan menjadi amarah bahkan emosi yang tak terkendali untuk menghardik
siswa-siswa yang mengambil hak Izul untuk bebas dari tekanan mental. Yang saya
lakukan bukanlah membentak-bentak dan menggebrak meja, melainkan dengan
perumpamaan.
Seperti yang dilakukan oleh yoyok dwi prastyo (2012), menghadapi situasi
yang sama dengan beliau saya mencoba “mantra”
yoyok untuk saya terapkan pada muridku. Saya mengambil uang dua ribu dari
kantong saya dan juga meminjam uang salah seorang siswa yang nominalnya lebih
tinggi dari dua ribu, kebetulan Deva ketua kelas 5B, memiliki uang lima ribu.
Uang kami tampak lumayan baru, meskipun terdapat sedikit tekukan pada ujung
uang tersebut.
Selanjutnya tanpa menunggu waktu lama, uang lima ribu tersebut langsung
saya remas-remas hingga lungset dan
tak berbentuk bagus lagi serta tak indah dipandang seperti semula. Kemudian
saya melontarkan pertanyaan pada seluruh siswa yang mulai tampak tidak terima
dengan apa yang saya lakukan, jika mereka sedang berjalan ditengah jalan
menemukan uang dua ribu yang masih bagus dan uang lima ribu yang telah
terlipat-lipat dan rusak tak berbentuk, maka bila disuruh memilih salah satu,
uang mana yang akan mereka pilih. Jawaban serempak seperti paduan suara mereka lontarkan
dan sangat kompak memilih uang lima ribuan tersebut, mendengar antusias mereka
menjawab kemudian saya lanjutkan pertanyaan mengapa harus memilih uang lima ribu, padahal bila
dipikir-pikir dan diamati, tentu uang dua ribu yang tampak bagus dan rapi lebih
indah dipandang dan pantas masuk dompet, dari pada uang lima ribuan yang layu
dan kusut tak berbentuk tentu tidak sedap dipandang.
Ternyata mereka menjawab memilih uang lima ribu dari pada dua ribu bukan
karena bentuknya yang kusut dan jelek, tetapi karena nilai uang lima ribu lebih
tinggi dibanding dua ribu. Kemudian saya sanggah dengan mengatakan harusnya
mereka seperti itu, menilai Izul tidak pada bentuk fisik yang diciptakan Allah,
dimata Allah orang yang bernilai dan memiliki derajat bukan dinilai dari
ketampanannya, kecantikannya, hartanya, melainkan karena iman, kemuliaan
hatinya. Tampaknya perumpamaan yang saya berikan sama berhasilnya dengan yang
dilakukan Yoyok, tentu reaksi seluruh siswa ada yang menyesal telah menghina,
ada yang terdiam seribu bahasa, dan ada pula yang langsung menuju Izul untuk
meminta maaf. Melihat hal itu, saya tampak bahagia dan bangga kepada
siswa-siswi kelas 5B tersebut, hati mereka mudah dimasuki cahaya hidayah dari
Allah melalui apa yang saya contohkan, sehingga harapannya mereka menjadi rukun
dan mampu berfastabiqul qoirot menjadi yang terbaik di sekolah tanpa harus
menghancurkan karakter dan mental temannya sendiri.
Pesanku kepada Izul adalah “jadilah dirimu sendiri, saya tahu ada potensi
yang terpendam dalam dirimu, ledakkan potensimu untuk membelalakkan dunia bahwa
kamu bisa”. Izul mulai bersemangat kembali untuk menggerak-gerakan pensil yang
digenggamnya dan melemparkan senyum kepuasan tanda dia siap untuk meledakkan
potensinya.