“Maaf,
shaf terbatas, silahkan kembali lagi pada saat shalat berikutnya, terima kasih”.
Tulisan diatas sangat-sangat jarang, dan mungkin tidak pernah ada di belahan
bumi ini tertera pada tempat ibadah seperti masjid atau mushollah, karena
tempat ibadah dimanapun akan menyediakan tempat seluas-luasnya dan keadaan
senyaman-nyamannya supaya para jama’ah yang datang melimpah. Di indonesia,
kondisi shalat berjama’ah di masjid atau mushollah khususnya subuh, sangat
minim sekali partisipasi dalam bentuk kesadaran untuk shalat berjama’ah.
Terbukti dengan luangnya shaf-shaf terdepan tiap tempat ibadah, baik itu
mushollah ataupun masjid, dan kebanyakan para penghuni minoritas shalat
berjama’ah khususnya subuh adalah para sesepuh dan pini sepuh.
Pengumuman tentang shaf terbatas di
atas tak lepas dari kejadian biasa dan menurut kami luar biasa, karena
mushollah tempat kami biasa shalat subuh berjamaah yakni Al-Furqon, memiliki 4
shaf 2 shaf untuk laki dan 2 shaf untuk perempuan dengan daya tampung tiap
shafnya adalah 7 orang sehingga total 28 jama’ah. Namun, pagi ini ahad 9 juni
2013, kata “shaf terbatas” dapat mewakili keadaan yang mencengangkan ketika
saya sampai didepan pintu mushollah. Disambut dengan bau khas anyir sungai
bawah tanah kemudian dengan pemandangan karpet berubah warna, dari hijau setengah
baya menjadi hijau tua bahkan lebih tua dari usia karpet itu sendiri
mengingat warna menjadi semakin gelap pada shaf iman atau terdepan.
Sehari sebelumnya adalah suasana petir
dan kilat yang menggelegar menyelimuti langit kota malang, memang semua
masyarakat kota ini beranggapan itu adalah hujan buatan yang dibuat oleh
pemerintah kota malang guna mencukupi kebutuhan debit air bendungan sutami yang
ada di malang sebelah selatan mengingat musim bulan ini adalah musim kemarau.
Namun sebagai orang beriman saya meyakini, hujan yang sangat lebat dan dibumbui
kilatan serta petir menggelegar tersebut tetap saja adalah buatan Allah Swt.
Keadaan hujan yang lebat dan harapan
pemerintah kota malang yang terkabul yakni debit air meningkat, namun debit air
yang meningkat di bendungan sutami tersebut juga berdampak pada debit air di
jalan bendungan sutami atau kawasan mushollah kami shalat berada, sungai yang
tepat dibawah mushollah, pada saat hujan tersebut benar-benar meluap dan
menunjukkan keganasannya dengan memberontak keluar kepermukaan tegel mushollah
dan seperti yang telah diceritakan diatas, 3 centimeter ketebalan air yang
menggenangi mushollah sudah cukup untuk membuat karpet mushollah basah kuyup.
Subuh tiba, pak Dahlan selaku juru
kunci mushollah ini, bergegas menyiapkan karpet-karpet yang belum tergenangi
air serta melipat karpet yang tergenang air, jumlah karpet yang seharusnya 28
shaf, tinggal 14 shaf karena sebiannya basah dan tidak bisa dipakai lagi
sehingga imam shalat subuh berada di shaf pertama dan 4 orang disebelahnya
berhimpitan termasuk saya, disamping kiri 3 orang perempuan khusuk mengikuti
gerakan imam, sehingga kondisi mushollah sudah penuh. Tulisan “maaf, shaf sudah
penuh” mungkin seolah-olah benar-benar tertempel didepan pintu mushollah ketika
imam sudah bangkit dari rakaat kedua sedangkan masih banyak jama’ah yang masbuq
dan hendak bergabung shalat jama’ah namun sudah tidak ada tempat lagi.
Kondisi tersebut sangat disayangkan
oleh jama’ah yang tadi kecele’ datang ke mushollah, dan semoga itu
menjadi pengalaman tersendiri karena 3 dari jama’ah yang hendak ikut shalat
jama’ah dan terpaksa kembali pulang adalah ibu, dan 2 adik saya. Pelajaran dari
hal tersebut bagi mereka mungkin salah satunya adalah, jangan kebiasaan masbuq
ketika shubuh.
Nasib serupa juga dialami mushollah
tetangga kami, papan bertuliskan An-nur yang tepat dipampang didepan pintu
gerbang mushollah tersebut seakan tak rela melihat seluruh mushollah bagian
dalamnya banjir, ya, benar benar banjir, air sangat banyak sekali, karpet semua
tidak hanya basah kuyup namun menyerap air sepenuhnya plus air mampu
mengangkatnya. Suara adzan magrib saat itu memang berfungsi untuk memanggil
jama’ah, namun panggilan itu berubah fungsi, dari memanggil untuk shalat
berganti memanggil untuk bersih-bersih dan melipat-lipat karpet yang kesemuanya
basah, agenda shalat magrib akhirnya dilaksanakan dirumah mereka masing-masing
setelah semua karpet berhasil diangkat, dan juga karena peluang untuk memaksakan
shalat berjama’ah di mushollah itu hanya 5%, karena hanya teras depan mushollah
saja yang bisa dipakai shalat berjama’ah karena bisa diisi dengan
sajadah-sajadah jama’ah namun jumlah jama’ah yang terlalu banyak tidak
memungkinkan untuk shalat berjama’ah.
Musik aliran sungai yang berada
dibawah mushollah itu memang sangat indah, sama halnya yang ada dibawah serta
disamping mushollah Al-Furqon, musik tersebut terdengar indah ketika sungai
tersebut tidak mengamuk dengan mendobrak naik keatas mushollah. Gemercik
air sungai sangat menggelanyutkan membawa para jama’ah yang shalat di mushollah
tersebut untuk lebih khusyuk lagi. Namun kekhusyukan tersbbut tidak akan tampak
lagi ketika air sungai mengamuk mengikuti kehendak pemerintah kota malang untuk
meningkatkan debit air bendungan sutami dan diikuti di jalan bendungan sutami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar