Senin, 10 Juni 2013

MUSHOLLAH KEBANJIRAN




                 


“Maaf, shaf terbatas, silahkan kembali lagi pada saat shalat berikutnya, terima kasih”. Tulisan diatas sangat-sangat jarang, dan mungkin tidak pernah ada di belahan bumi ini tertera pada tempat ibadah seperti masjid atau mushollah, karena tempat ibadah dimanapun akan menyediakan tempat seluas-luasnya dan keadaan senyaman-nyamannya supaya para jama’ah yang datang melimpah. Di indonesia, kondisi shalat berjama’ah di masjid atau mushollah khususnya subuh, sangat minim sekali partisipasi dalam bentuk kesadaran untuk shalat berjama’ah. Terbukti dengan luangnya shaf-shaf terdepan tiap tempat ibadah, baik itu mushollah ataupun masjid, dan kebanyakan para penghuni minoritas shalat berjama’ah khususnya subuh adalah para sesepuh dan pini sepuh.

          Pengumuman tentang shaf terbatas di atas tak lepas dari kejadian biasa dan menurut kami luar biasa, karena mushollah tempat kami biasa shalat subuh berjamaah yakni Al-Furqon, memiliki 4 shaf 2 shaf untuk laki dan 2 shaf untuk perempuan dengan daya tampung tiap shafnya adalah 7 orang sehingga total 28 jama’ah. Namun, pagi ini ahad 9 juni 2013, kata “shaf terbatas” dapat mewakili keadaan yang mencengangkan ketika saya sampai didepan pintu mushollah. Disambut dengan bau khas anyir sungai bawah tanah kemudian dengan pemandangan karpet berubah warna, dari hijau setengah baya menjadi hijau tua bahkan lebih tua dari usia karpet itu sendiri mengingat warna menjadi semakin gelap pada shaf iman atau terdepan.
          Sehari sebelumnya adalah suasana petir dan kilat yang menggelegar menyelimuti langit kota malang, memang semua masyarakat kota ini beranggapan itu adalah hujan buatan yang dibuat oleh pemerintah kota malang guna mencukupi kebutuhan debit air bendungan sutami yang ada di malang sebelah selatan mengingat musim bulan ini adalah musim kemarau. Namun sebagai orang beriman saya meyakini, hujan yang sangat lebat dan dibumbui kilatan serta petir menggelegar tersebut tetap saja adalah buatan Allah Swt.
          Keadaan hujan yang lebat dan harapan pemerintah kota malang yang terkabul yakni debit air meningkat, namun debit air yang meningkat di bendungan sutami tersebut juga berdampak pada debit air di jalan bendungan sutami atau kawasan mushollah kami shalat berada, sungai yang tepat dibawah mushollah, pada saat hujan tersebut benar-benar meluap dan menunjukkan keganasannya dengan memberontak keluar kepermukaan tegel mushollah dan seperti yang telah diceritakan diatas, 3 centimeter ketebalan air yang menggenangi mushollah sudah cukup untuk membuat karpet mushollah basah kuyup.
          Subuh tiba, pak Dahlan selaku juru kunci mushollah ini, bergegas menyiapkan karpet-karpet yang belum tergenangi air serta melipat karpet yang tergenang air, jumlah karpet yang seharusnya 28 shaf, tinggal 14 shaf karena sebiannya basah dan tidak bisa dipakai lagi sehingga imam shalat subuh berada di shaf pertama dan 4 orang disebelahnya berhimpitan termasuk saya, disamping kiri 3 orang perempuan khusuk mengikuti gerakan imam, sehingga kondisi mushollah sudah penuh. Tulisan “maaf, shaf sudah penuh” mungkin seolah-olah benar-benar tertempel didepan pintu mushollah ketika imam sudah bangkit dari rakaat kedua sedangkan masih banyak jama’ah yang masbuq dan hendak bergabung shalat jama’ah namun sudah tidak ada tempat lagi.
          Kondisi tersebut sangat disayangkan oleh jama’ah yang tadi kecele’ datang ke mushollah, dan semoga itu menjadi pengalaman tersendiri karena 3 dari jama’ah yang hendak ikut shalat jama’ah dan terpaksa kembali pulang adalah ibu, dan 2 adik saya. Pelajaran dari hal tersebut bagi mereka mungkin salah satunya adalah, jangan kebiasaan masbuq ketika shubuh.
          Nasib serupa juga dialami mushollah tetangga kami, papan bertuliskan An-nur yang tepat dipampang didepan pintu gerbang mushollah tersebut seakan tak rela melihat seluruh mushollah bagian dalamnya banjir, ya, benar benar banjir, air sangat banyak sekali, karpet semua tidak hanya basah kuyup namun menyerap air sepenuhnya plus air mampu mengangkatnya. Suara adzan magrib saat itu memang berfungsi untuk memanggil jama’ah, namun panggilan itu berubah fungsi, dari memanggil untuk shalat berganti memanggil untuk bersih-bersih dan melipat-lipat karpet yang kesemuanya basah, agenda shalat magrib akhirnya dilaksanakan dirumah mereka masing-masing setelah semua karpet berhasil diangkat, dan juga karena peluang untuk memaksakan shalat berjama’ah di mushollah itu hanya 5%, karena hanya teras depan mushollah saja yang bisa dipakai shalat berjama’ah karena bisa diisi dengan sajadah-sajadah jama’ah namun jumlah jama’ah yang terlalu banyak tidak memungkinkan untuk shalat berjama’ah.
          Musik aliran sungai yang berada dibawah mushollah itu memang sangat indah, sama halnya yang ada dibawah serta disamping mushollah Al-Furqon, musik tersebut terdengar indah ketika sungai tersebut tidak mengamuk dengan mendobrak naik keatas mushollah. Gemercik air sungai sangat menggelanyutkan membawa para jama’ah yang shalat di mushollah tersebut untuk lebih khusyuk lagi. Namun kekhusyukan tersbbut tidak akan tampak lagi ketika air sungai mengamuk mengikuti kehendak pemerintah kota malang untuk meningkatkan debit air bendungan sutami dan diikuti di jalan bendungan sutami.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar