Miskin adalah dosa. Begitulah diyakini
oleh Bill Gate, pemilik microsoft yang bergelimang harta. Bila terlahir dalam
keadaan miskin, bukanlah salah anda, akan tetapi bila mati dalam keadaan
miskin, 100% adalah salah anda. Miskin yang dimaksud tidaklah sebatas miskin
financial atau harta, akan tetapi juga mencakup kemiskinan lainnya. Menurut
M.Nuh, yang termasuk penyakit sosial adalah kemiskinan, keterbelakangan
peradaban, dan kebodohan. Dari ketiga kategori penyakit sosial tersebut,
kemiskinan adalah tantangan tersendiri di Indonesia. Dikatakan bahwa miskin
harta akan mengakibatkan kekufuran, mengakibatkan pencurian, perampokan
berjama’ah, korupsi menggurita. Kemiskinan tipe ini yang juga dapat dipilah
lagi dalam artian miskin karena memang butuh, dan miskin karena merasa kurang
dengan memenuhi syahwat keserakahannya. Mereka yang miskin karena butuh adalah
sasaran pemerintah dalam hal ini sekolah gratis, dan juga bantuan uang tunai
yang diberikan oleh presiden.
Kedua, miskin
karena merasa kurang adalah mentalitas bangsa ini, mereka sebenarnya mampu akan
tetapi mengklaim dirinya miskin dengan manipulasi data maupun cara lainnya. Masyarakat
Indonesia model ini lebih sengsara bila fakir sinyal dari pada fakir miskin,
pergeseran fakta tersebut merujuk pada era digital saat ini (Sumardianta 2014),
mereka lebih rela disebut fakir miskin dari pada fakir pulsa. Membela membeli
pulsa dari pada membeli bensin yang naik, membela membeli HP keluaran terbaru
dari pada menyekolahkan anak disekolah yang berbiaya sedikit tinggi.
Kemiskinan
selanjutnya adalah miskin ilmu, dengan miskin ilmu akan berdampak pada seluruh
aspek kehidupan. Konsumtif masalah teknologi, hanya membeli tidak bisa membuat
juga termasuk kategori miskin ilmu, bangsa korea memilki motto negaranya adalah
‘barang siapa yang mengaku bangsa korea maka harus bangun pagi’, bangun pagi
dengan dua makna tersebut yakni, bangun lebih pagi untuk beraktifitas maupun
bangun pagi dalam artian lebih dahulu merebut jutaan ilmu yang tersebar dijagat
raya ini lebih awal, karena mereka meyakini bahwa barang siapa yang bangun pagi
maka akan memiliki ilmu lebih banyak, barang siapa menguasai ilmu pengetahuan
maka akan menguasai dunia. Sama halnya dengan bangsa Malaysia dan singapura,
mereka secara astronomis masih mengikuti Waktu Indonesia Barat (WIB), akan
tetapi lebih memilih memajukan waktunya satu jam lebih cepat dari pada
Indonesia dengan pertimbangan ekonomi, mereka tidak jarang shalat subuh di
jalan ketika hendak berangkat sekolah maupun kerja, karena ketika kita bangsa
Indonesia masih terlelap tidur, justru mereka satu jam lebih awal bangkit dan
satu jam lebih akhir selesai sekolah maupun kerjanya, dan hasilnya adalah
mereka lebih maju, meskipun secara kasat mata tidak memiliki kekayaan alam,
akan tetapi karena kita kaya sumber daya alam tapi miskin ilmu sehingga
tertinggal jauh dari tetangga kita tersebut. mereka mampu mengendalikan
Negara-negara yang kaya akan sumber daya alam untuk dieksploitasi kekayaannya
melalui kekayaan intelektual mereka guna memiskinkan Negara kaya seperti kita.
Ditinjau dari
segi pendidikan, kekayaan Singapura, Malaysia, dan Indonesia dari jumlah hasil
karya tulis mereka masih sangatlah njomplang atau tinggi deviasinya, singapura dengan 3000
karya tulis setiap tahunnya, Malaysia dengan 600 sedangkan Indonesia 300, maka
otomatis singapura lebih maju dan lebih kaya, karena indikator negara maju
adalah jumlah karya tulisnya (Masduki 2014),dengan banyaknya ilmu pengetahuan
yang mereka ikat melalui karya tulis tersebut, maka mereka lebih banyak tahu
dan lebih cerdas dalam bertindak. Bangsa Indonesia baru belajar membaca, belum
menulis, begitulah FB, Twitter, Whatsup, BBM, dan Instagram, semuanya berisi
hanya keluh kesah yang tak bermakna, sementara negara lain berfikir jauh
kedepan dengan karya tulisnya.
Dengan fakta terseabut, tentu kita
semua sebagai warga Negara Indonesia terkena hukum yang dikatakan Bill Gate,
yakni Poor is Sin. Kita miskin pengetahuan, kita miskin karya, kita miskin
kreatifitas, maka ketika kita miskin karya, pengetahuan, kreatifitas maka
berdosalah kita semua.
Ketika arah perbincangan berpindah
ke kurikulum pendidikan kita, dimana salah satu jalan untuk menjadikan kita
kaya, baik kaya harta maupun kaya ilmu
pengetahuan adalah melalui pendidikan, ketika kurikulum disinggung maka masih
ada yang bisa kita banggakan, kurikulum kita dinamis, kaya akan konsep, kaya
akan pakar-pakar yang mampu merumuskan kurikulum, serta kaya akan undang-undang
yang mengatur tentang kurikulum kita. Sayangnya kita miskin implementasi,
miskin ketegasan, dan miskin konsistensi. Ketika pemerintah Singapura
mengharamkan permen karet berada di negaranya maka mereka menunjukkan kekayaan
akan implementasi, ketegasan, dan konsistensi. Kaya dalam artian luas pun turut
menunjang sebuah Negara menjadi besar, maju, dan tidaklah miskin dalam artian
sempit yakni miskin sumber daya alam akan tetapi kaya dalam segala aspeknya
meskipun dalam keterbatasan.
Negara ini justru senantiasa
konsisten dengan ketidakkonsistenannya, ketegasan terlalu murah untuk
didamaikan ditempat melalui uang, dan implementasi menjadi amburadul. Negara
ini bahkan dijuluki Negara start, yakni Negara yang senantiasa memulai
terus dari awal, dengan dalih penyempurnaan, padahal sejatinya merombak
semuanya, memulai dari awal, tujuan jangka panjang senantiasa berbelok bahkan
sering berubah tujuan ketika berganti pimpinan. Apakah kita miskin? Ayolah negaraku, aku tahu
kau mendengar kegalauan kami, bonus demografi mungkin bisa menjadi pelipur
lara, anak usia 10-24 tahun akan berjumlah 6,7 juta. Pertanyaannya adalah
mampukah kita mengoptimalkan mereka untuk mengangkat Negara ini yang sedang
bersusah payah bangkit dari karamnya karakter, tauladan, dan mentalitas
miskin?. Bukan rumput yang bergoyang yang bisa menjawabnya, tapi kita, saat
ini, dan dimulai saat ini juga.