Rabu, 17 Juni 2015

Poor Is Sin !!


            Miskin adalah dosa. Begitulah diyakini oleh Bill Gate, pemilik microsoft yang bergelimang harta. Bila terlahir dalam keadaan miskin, bukanlah salah anda, akan tetapi bila mati dalam keadaan miskin, 100% adalah salah anda. Miskin yang dimaksud tidaklah sebatas miskin financial atau harta, akan tetapi juga mencakup kemiskinan lainnya. Menurut M.Nuh, yang termasuk penyakit sosial adalah kemiskinan, keterbelakangan peradaban, dan kebodohan. Dari ketiga kategori penyakit sosial tersebut, kemiskinan adalah tantangan tersendiri di Indonesia. Dikatakan bahwa miskin harta akan mengakibatkan kekufuran, mengakibatkan pencurian, perampokan berjama’ah, korupsi menggurita. Kemiskinan tipe ini yang juga dapat dipilah lagi dalam artian miskin karena memang butuh, dan miskin karena merasa kurang dengan memenuhi syahwat keserakahannya. Mereka yang miskin karena butuh adalah sasaran pemerintah dalam hal ini sekolah gratis, dan juga bantuan uang tunai yang diberikan oleh presiden.
Kedua, miskin karena merasa kurang adalah mentalitas bangsa ini, mereka sebenarnya mampu akan tetapi mengklaim dirinya miskin dengan manipulasi data maupun cara lainnya. Masyarakat Indonesia model ini lebih sengsara bila fakir sinyal dari pada fakir miskin, pergeseran fakta tersebut merujuk pada era digital saat ini (Sumardianta 2014), mereka lebih rela disebut fakir miskin dari pada fakir pulsa. Membela membeli pulsa dari pada membeli bensin yang naik, membela membeli HP keluaran terbaru dari pada menyekolahkan anak disekolah yang berbiaya sedikit tinggi.
Kemiskinan selanjutnya adalah miskin ilmu, dengan miskin ilmu akan berdampak pada seluruh aspek kehidupan. Konsumtif masalah teknologi, hanya membeli tidak bisa membuat juga termasuk kategori miskin ilmu, bangsa korea memilki motto negaranya adalah ‘barang siapa yang mengaku bangsa korea maka harus bangun pagi’, bangun pagi dengan dua makna tersebut yakni, bangun lebih pagi untuk beraktifitas maupun bangun pagi dalam artian lebih dahulu merebut jutaan ilmu yang tersebar dijagat raya ini lebih awal, karena mereka meyakini bahwa barang siapa yang bangun pagi maka akan memiliki ilmu lebih banyak, barang siapa menguasai ilmu pengetahuan maka akan menguasai dunia. Sama halnya dengan bangsa Malaysia dan singapura, mereka secara astronomis masih mengikuti Waktu Indonesia Barat (WIB), akan tetapi lebih memilih memajukan waktunya satu jam lebih cepat dari pada Indonesia dengan pertimbangan ekonomi, mereka tidak jarang shalat subuh di jalan ketika hendak berangkat sekolah maupun kerja, karena ketika kita bangsa Indonesia masih terlelap tidur, justru mereka satu jam lebih awal bangkit dan satu jam lebih akhir selesai sekolah maupun kerjanya, dan hasilnya adalah mereka lebih maju, meskipun secara kasat mata tidak memiliki kekayaan alam, akan tetapi karena kita kaya sumber daya alam tapi miskin ilmu sehingga tertinggal jauh dari tetangga kita tersebut. mereka mampu mengendalikan Negara-negara yang kaya akan sumber daya alam untuk dieksploitasi kekayaannya melalui kekayaan intelektual mereka guna memiskinkan Negara kaya seperti kita.
Ditinjau dari segi pendidikan, kekayaan Singapura, Malaysia, dan Indonesia dari jumlah hasil karya tulis mereka masih sangatlah njomplang  atau tinggi deviasinya, singapura dengan 3000 karya tulis setiap tahunnya, Malaysia dengan 600 sedangkan Indonesia 300, maka otomatis singapura lebih maju dan lebih kaya, karena indikator negara maju adalah jumlah karya tulisnya (Masduki 2014),dengan banyaknya ilmu pengetahuan yang mereka ikat melalui karya tulis tersebut, maka mereka lebih banyak tahu dan lebih cerdas dalam bertindak. Bangsa Indonesia baru belajar membaca, belum menulis, begitulah FB, Twitter, Whatsup, BBM, dan Instagram, semuanya berisi hanya keluh kesah yang tak bermakna, sementara negara lain berfikir jauh kedepan dengan karya tulisnya.
            Dengan fakta terseabut, tentu kita semua sebagai warga Negara Indonesia terkena hukum yang dikatakan Bill Gate, yakni Poor is Sin. Kita miskin pengetahuan, kita miskin karya, kita miskin kreatifitas, maka ketika kita miskin karya, pengetahuan, kreatifitas maka berdosalah kita semua.
            Ketika arah perbincangan berpindah ke kurikulum pendidikan kita, dimana salah satu jalan untuk menjadikan kita kaya, baik kaya  harta maupun kaya ilmu pengetahuan adalah melalui pendidikan, ketika kurikulum disinggung maka masih ada yang bisa kita banggakan, kurikulum kita dinamis, kaya akan konsep, kaya akan pakar-pakar yang mampu merumuskan kurikulum, serta kaya akan undang-undang yang mengatur tentang kurikulum kita. Sayangnya kita miskin implementasi, miskin ketegasan, dan miskin konsistensi. Ketika pemerintah Singapura mengharamkan permen karet berada di negaranya maka mereka menunjukkan kekayaan akan implementasi, ketegasan, dan konsistensi. Kaya dalam artian luas pun turut menunjang sebuah Negara menjadi besar, maju, dan tidaklah miskin dalam artian sempit yakni miskin sumber daya alam akan tetapi kaya dalam segala aspeknya meskipun dalam keterbatasan.
            Negara ini justru senantiasa konsisten dengan ketidakkonsistenannya, ketegasan terlalu murah untuk didamaikan ditempat melalui uang, dan implementasi menjadi amburadul. Negara ini bahkan dijuluki Negara start, yakni Negara yang senantiasa memulai terus dari awal, dengan dalih penyempurnaan, padahal sejatinya merombak semuanya, memulai dari awal, tujuan jangka panjang senantiasa berbelok bahkan sering berubah tujuan ketika berganti pimpinan.  Apakah kita miskin? Ayolah negaraku, aku tahu kau mendengar kegalauan kami, bonus demografi mungkin bisa menjadi pelipur lara, anak usia 10-24 tahun akan  berjumlah 6,7 juta. Pertanyaannya adalah mampukah kita mengoptimalkan mereka untuk mengangkat Negara ini yang sedang bersusah payah bangkit dari karamnya karakter, tauladan, dan mentalitas miskin?. Bukan rumput yang bergoyang yang bisa menjawabnya, tapi kita, saat ini, dan dimulai saat ini juga.